1908 Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali
memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei
1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah
ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas
dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Pada konggres yang
pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan
perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama
dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik
dan industri, serta kebudayaan. Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai
perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan,
tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan
monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909
telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota. Disamping itu, para
mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya
Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland
Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang
kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922,
disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi
wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih
mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini
kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti:
Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia,
Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis
dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV)
yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama
ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat
Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang
kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju “kemajuan
yang selaras” dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang
berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan
pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa
terjun ke lapangan politik. Kehadiran Boedi Oetomo,Indische
Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang
menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan
mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah
Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran
kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk
memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui
penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang
membebaskan diri dari penindasan kolonialisme. [sunting] 1928 Pada
pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam
Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan
Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan
kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik
yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat
berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu.
Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang
dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua,
Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para
nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori
oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925. Diinspirasi oleh pembentukan
Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun
seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926,
Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik,
Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan
Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun
1930-an. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan
aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang
memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda
dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada
26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI. [sunting] 1945 Dalam
perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai
dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap
penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk
menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa
yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa
Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI). Secara umum kondisi pendidikan maupun
kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif
dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan
pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini
ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan
mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah
Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan
dipenjarakan. Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka
mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan
dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di
asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar
dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama
Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi
cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa. Salah
satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan
kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan
Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan
Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal
kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. [sunting] 1966 Sejak
kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok
mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
(PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang
tahun 1947. Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959),
seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu,
organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi
dibawah partai-partai politik. Misalnya, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa
Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis
Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
dengan Masyumi, dan lain-lain. Diantara organisasi mahasiswa pada masa
itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai
kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik
konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh
berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit
antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya jabatan
kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga
GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961. Mahasiswa membentuk
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang
merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil
dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP)
Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi
Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa
(IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam
melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan
memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya,
seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan
lain-lain. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia
banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan
ini dikenal dengan istilah Angkatan ’66, yang menjadi awal kebangkitan
gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan
mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu
adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di
antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan
Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll.
Angkatan ’66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan
ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa
menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan ’66 pun mendapat hadiah
yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam
kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang
sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi
mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang
aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting
pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok
gie [sunting] 1974 Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan
mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki
hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang
dialami adalah konfrontasi dengan militer. Sebelum gerakan mahasiswa
1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para
mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek
kekuasaan rezim Orde Baru, seperti: * Golput yang menentang
pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar
dinilai curang. * Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia
Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di
lokasi tersebut. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan
mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya
apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori Arif
Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan
BBM, dan korupsi. Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas,
pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan
membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo.
Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa
terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim
Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru
telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk
mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi
kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk
perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur
tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD. Muncul berbagai
pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun
mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai
pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka
mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28
Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara
Nababan. Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai
protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk
proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam
pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia
Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri. Protes
terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya
tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya
demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia
dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta
meneriakan isu “ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura
Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan
Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi
koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut
dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden. [sunting] 1978 Setelah
peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes
mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan
kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan
aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara
penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi
protes kecil tetap ada. Menjelang dan terutama saat-saat antara
sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan
mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik
diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan
kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota
legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan
hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang
bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan
kepemimpinan nasional. Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan
pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977
dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai
perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa.
Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena
mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain
adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam
melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak
terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka
akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini
kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya
kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia. Soeharto terpilih untuk ketiga
kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski
demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah
dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan
sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
[sunting] Era NKK/BKK Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada
gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat
diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Kebijakan NKK
dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf
dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya
menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas
politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim.
Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib
Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai
gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut
BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas
tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan
Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui
Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok
pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya
kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi
mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK
ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu
rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai
wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga
kemahasiswaan. Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan
organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan
transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya
UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis
semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan
menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini
menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin
kuat. Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah
intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi
yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam
perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran
wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula
sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh
oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk
menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan
aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan
mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI
(Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia)
atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk
kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa. Beberapa kasus lokal yang
disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk
Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian
melalui Porkas/TSSB/SDSB. [sunting] 1990 Memasuki awal tahun 1990-an,
di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai
gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui
PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang
diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya
terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM). Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro
kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui
konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi
basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang
menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden
agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan
aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus. Dalam perkembangan
kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena
kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri,
bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus.
Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di
UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di
tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan
alternatif yang independen. Dengan dihidupkannya model-model
kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan
Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan
mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal
kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an. Gerakan yang menuntut
kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan
mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 – 1990 sehingga akhirnya
demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi.
Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi
dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang. [sunting] 1998 Gerakan
1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi dan
nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan
mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya.
Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan
pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis,
Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi
Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_mahasiswa_di_Indonesia
0 Comments